SULUT – Ketika hukum didiamkan, kejahatan tumbuh subur! Di tengah sorotan publik dan hantaman pemberitaan media yang terus-menerus, Kapolda Sulawesi Utara dan Kapolres Bolaang Mongondow Selatan masih saja memilih bungkam. Diam seribu bahasa, meski kerusakan hutan dan dugaan pelanggaran hukum sudah menganga di depan mata. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif ini kejahatan terhadap lingkungan, negara, dan masa depan!
Dua nama yang kini menjadi sorotan tajam publik Stenly Wuisan dan Edwin Lontoh (alias Elo) disebut sebagai otak di balik aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang merusak lima hektar lebih Hutan Produksi Terbatas (HPT) di kawasan Sigor, Tobayagan, Bolsel.
Lebih ironis lagi, keduanya diduga terjebak dalam skema licik Mafia Tanah Makalalag yang dengan enteng menyerahkan tanah hutan negara seolah-olah milik pribadi. Klaim kepemilikan yang semu itu bahkan sudah dianulir oleh eks Sangadi Salomi Panayi melalui surat pembatalan SKT pada 31 Januari 2025. Artinya, tidak ada dasar hukum atas penguasaan lahan oleh kelompok ini jelas ilegal, terang benderang!
Undang-Undang No. 3 Tahun 2021 sangat jelas. Pasal 158 menyebut: Penambangan tanpa izin diancam pidana 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar! Bahkan pasal 160 dan 161 lebih keras mereka yang menampung, menjual, hingga memproses hasil tambang ilegal juga harus dihukum.
Faktanya? Lokasi PETI di Sigor terus beroperasi. Ada empat excavator, camp pekerja, tandon ribuan liter, bak rendaman, hingga pipa besar semua bukti nyata bahwa aktivitas penambangan masih berlangsung tanpa sentuhan aparat.
PETI bukan sekadar mencuri emas ia mencuri masa depan bangsa! Kerusakan lingkungan, pencemaran air sungai, void tambang yang jadi kolam racun, dan ancaman kebakaran karena swabakar batubara semua adalah bom waktu bagi masyarakat dan negara.
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) lenyap, potensi konflik sosial meningkat, penyakit masyarakat muncul, hingga kelangkaan BBM dan ketimpangan ekonomi pun menghantui wilayah yang seharusnya damai.
“Hentikan sekarang juga!” tegas aktivis hukum dan lingkungan Jeffrey Sorongan. Ia meminta Kapolri turun tangan langsung, karena jika menunggu Kapolda dan Kapolres Bolsel bergerak, hutan bisa habis lebih dulu. “Kalau memang hukum itu adil, maka semua pelaku harus diseret ke pengadilan termasuk pemberi tanah. Bukan hanya di Mitra yang bisa dipenjara,” kecam Sorongan.
Jika hukum tidak ditegakkan di Sigor Tobayagan, maka rakyat punya alasan untuk mempertanyakan: Untuk siapa hukum dibuat? Untuk siapa aparat digaji?
Kapolri diminta bersikap! Jangan tunggu lebih banyak lahan rusak, jangan tunggu rakyat bergerak sendiri. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tambang. Ini bukan sekadar kejahatan ekonomi ini pengkhianatan terhadap republik!
Tidak ada komentar