Jakarta, — Amerika Serikat melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR) menyampaikan kekhawatiran terhadap kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia, khususnya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis pada 31 Maret 2025, USTR menilai bahwa implementasi QRIS oleh Bank Indonesia dilakukan tanpa melibatkan pemangku kepentingan internasional, sehingga dianggap dapat membatasi akses penyedia layanan pembayaran dan bank asal AS ke pasar Indonesia.
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa kritik AS mencerminkan kekhawatiran atas kehilangan pangsa pasar global oleh raksasa fintech seperti PayPal, Stripe, dan Visa. Menurutnya, kebijakan Indonesia justru bertujuan melindungi startup fintech lokal yang belum siap bersaing dengan perusahaan multinasional. Achmad juga menekankan bahwa setiap negara berdaulat berhak merumuskan regulasi sesuai kebutuhan nasionalnya tanpa intervensi asing.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa QRIS telah menyelamatkan Indonesia dari krisis saat pandemi COVID-19 dengan memungkinkan masyarakat bertransaksi tanpa kontak fisik. Selain itu, QRIS juga membantu penyaluran bantuan sosial pemerintah ke berbagai wilayah di Indonesia. Per Oktober 2023, volume transaksi QRIS mencapai 1,596 miliar dengan nominal transaksi tumbuh 186,08 persen secara tahunan, mencapai Rp24,97 triliun.
Pemerintah Indonesia berencana memperluas jangkauan layanan QRIS ke negara-negara seperti India, Jepang, Tiongkok, dan Uni Emirat Arab pada 2024 sebagai bagian dari akselerasi sistem pembayaran digital nasional.
Dalam menghadapi kritik internasional, Indonesia tetap berkomitmen menjaga kedaulatan digital dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Tidak ada komentar